galeri kegiatan

Talkshow Seru Bersama Dua Dharmacarya dari Singapura dan Taiwan

Dharmacarya Shi Lian Ru dan Dharmacarya Shi Lian Zhu mengisi talkshow Jambore IMZI
Dharmacarya Shi Lian Ru dan Dharmacarya Shi Lian Zhu mengisi talkshow Jambore IMZI

Memasuki hari kedua Jambore Ikatan Muda-mudi Zhenfozong Indonesia (IMZI), Senin (25/12), para peserta mendapatkan lebih banyak wawasan dengan padatnya jadwal talkshow dan workshop sehari penuh. Kehadiran dua narasumber dari Singapura memberikan daya tarik tersendiri pada gelaran kegiatan ini.

Dharmacarya Shi Lianru selaku ketua True Buddha School (TBS) Youth Internasional dari Singapura dan Dharmacarya Shi Lianzhu dari Taiwan, mengaku sangat senang bisa hadir dalam kegiatan ini. Mereka memaparkan materi sangat menarik, memotivasi generasi Buddhis untuk lebih percaya diri dan memantapkan keyakinan dalam Buddha Dhamma.

“Saya sangat senang bisa datang ke sini dan berjumpa dengan kalian semua yang masih energik dan semangat,” ujar Dharmacarya Shi Lianru mengawali pembicaraan.

Dharmacarya Shi Lianru mengisi talkshow

Apa itu Agama atau Keyakinan?

Dengan melemparkan pertanyaan mengenai para dewa dan Bodhisatwa, Dharmacarya Shi Lianru membuka sesi talkshow untuk memberikan gambaran materi yang akan ia sampaikan. Ia menlanjutkan paparannya dengan sebuah cerita, menjadikan sesi ini mejadi lebih seru dan mencairkan suasana talkshow.

“Ada sebuah kisah seroang profesor yang pergi ke sebuah desa, dia menjelaskan dengan sangat detail dan panjang lebar bagaimana membangun sebuah desa. Profesor tersebut bergelar Ph.D. Dan dalam setiap hal dia memandang dari perspektif ilmu pengetahuan, sampai akhirnya ia membahas tentang agama atau keyakinan, sementara profesor ini penganut atheis atau tidak beragama,” Dharmacarya memulai cerita.

Dharmacarya bercerita bahwa profesor tersebut bertanya kepada penduduk desa tentang kederadaan Buddha, Bodhisatva, Dewa, dan juga Allah. Profesor bahkan meminta semua entitas yang ia sebutkan untuk menampakkan wujud supaya semua penduduk desa percaya akan keberadaaannya.

“Semuanya terdiam, tidak bersuara apapun. Dan semua orang melihat ke langit,” lanjut Dharmacarya.

Diceritakan, karena tidak ada kemunculan apapun, penduduk desa tersebut merasa kecewa. Profesor senang sekali kemudian berkata bahwa sungguhnya Buddha, dewa, itu semua tidak ada. Di tengah kebingungan penduduk desa, tiba-tiba ada seorang wanita mengangkat tangan dengan malu-malu, dan ia berkata kemudian bertanya dengan sangat pelan.

“Profesor, apa yang anda katakan itu sangat benar dan kami pun tidak bisa mendebat anda. Saya sampai saat ini belum pernah berjumpa Buddha, yang saya jumpai adalah rupang Buddha tetapi tidak pernah bertemu sosok Buddha secara langsung karena Sang Buddha hidup 2500 tahun silam. Tetapi saya meyakini ajaran Sang Buddha. Beliau mengajari saya tentang hukum sebab akibat serta cinta kasih, kasih sayang, simpati, dan keseimbangan batin. Dan mengajari saya untuk senantiasa bersyukur dan bersukacita dalam berinteraksi dengan semua orang serta menjalani kehidupan saya. Setiap hari saya memanfaatkan waktu dengan bijak dengan mengikuti ajaran Buddha dan mengimplementasikannya dalam kehidupan saya. Bahkan ketika saya menemui kesulitan saya akan mengingat ajaran Buddha untuk mengatasi semua masalah tanpa merasa jengkel. Jadi, menurut anda kehidupan seperti saya ini, jika suatu saat saya meninggal dan belum bisa menjumpai seorang Buddha, apakah menurut anda saya mengalami kerugian?” Dharmacarya menirukan pernyataan wanita tersebut.

Pertanyaan tersebut juga diajukan kepada semua orang yang hadir. Dan sebagian besar orang merasa tidak dirugikan, begitu juga profesor tersebut menjawab sama seperti kebanyakan orang, tidak merasa dirugikan. Perempuan tersebut mengucapkan terima kasih atas jawaban yang diberikan profesor, kemudian ia mengajukan satu pertanyaan lagi.

“Jika karena saya menganggap sosok Sang Buddha tidak ada, maka saya pun mengingkari satu hal. Jadi ketika saya tidak mengakui adanya Buddha, tidak mengakui ajaran Buddha, saya bisa berlaku semena-mena, menyakiti dan merugikan orang lain, saya menjadi orang malas, dan melakukan apa saja yang saya suka tanpa mempedulikan konsekuensinya. Dan saya akan melewatkan kehidupan seperti itu, dan ketika saya mau meninggal baru menemui Buddha, apakah saya akan merasa rugi? Apakah semua orang juga akan merasa rugi?”, lanjut Dharmacarya.

“Betul, jika demikian anda mengalami kerugian yang sangat besar,” Dharmacarya menyampaikan jawaban profesor.

Dari cerita tersebut, Dharmacarya menjelaskan bahwa agama atau keyakina adalah sesuatu yang dapat menimbulkan dorongan, motivasi, atau kekuatan dalam diri manusia. Di dunia ini orang yang meyakini ajaran Buddha sangatlah banyak, mereka tersebar di seluruh pelosok dunia. Mereka mengikuti ajaran Buddha dan menimbulkan sikap batin penuh welas asih dan baik hati kepada orang lain.

Sang Buddha mengajarkan, lanjut Dharmacarya, untuk mengamalkan sikap Maitri/Metta, Karuna, Mudita dan Upeksha dan mengimplimentasikan dalam kehidupan sehari-hari, serta mengajari umat manusia makna dari hukum sebab akibat. Dan hal itu merupakan prinsip dasar bagi manusia. Ajaran Sang Buddha sama seperti samudera luas yang bisa mengayomi semua agama lainnya, dan memiliki sifat pemakluman dan mengayomi semuanya yang paling luas.

“Dalam sejarah juga tidak pernah ada peperangan yang timbul karena Agama Buddha. Ini karena Sang Buddha mengajarkan bahwa setiap insan adalah Buddha, karena itulah harus memperlakukan semua insan dengan satara,” tegas Dharmacarya.

Menurut Dharmacarya, hal wajib yang harus dipelajari oleh umat Buddha adalah Maitri, Karuna, Mudita, dan Upeksha serta mengamalkannya dalam kehidupan.

“Coba kalian renungkan, apa tujuan kita beragama? Apakah demi mendapatkan teman, atau mencari pasangan, atau ingin mecari ketenangan dalam batin, atau ingin mencari sandaran hidup yang sangat kuat untuk menopang kita dalam hidup? Boleh kalian renungkan,” tutup Dharmacarya Shi Lianru.

Dharmacarya Shi Lianru mengisi talkshow
Dharmacarya Shi Lianru mengisi talkshow

Dharmacarya Shi Lianzhu, Menjadi Minoritas yang Berkualitas

Tidak dipungkiri, sebagai minoritas, sebagian besar umat Buddha Indonesia mengalami krisis kepercayaan diri dalam hal keyakinan. Kurangnya kepercayaan diri ini menjadi salahh satu faktor lemahnya keyakinan yang akhirnya terlalu mudah goyah dan tergoda untuk pindah keyakinan dengan beragam alasan. Keadaan ini menjadi sorotan tersendiri bagi Dharmacarya Shi Lianzhu, sehingga mendorongnya untuk memberikan pencerahan dengan paparan yang ia sampaikan.

“Topik yang akan saya bawakan kali ini adalah bagaimana menjadi minoritas yang berkualitas. Topik ini atas pemintaan panitia karena di Indonesia memang umat Buddha adalah minoritas,” kata Dharmacarya.

Hal pertama yang ia tekankan bahwa umat Buddha harus bangga menjadi penganut ajaran Buddha dengan menunjukkan kualitas diri di tengah-tengah mayoritas agama lain. Menyadur ajaran Mulacariya Lian Sheng, Dharmacarya menyampaikan paparan bagaimana memiliki pengetahuan dan kesadaran yang bisa melampaui orang awam, yaitu pengetahuan tentang hukum sebab akibat dan tumimbal lahir di enam alam.

Pengetahuan tentang dua hal tersebut dinilai sangat penting, karena dengan memahami hukum sebab akibat seseorang akan memahami bahwa nasib ditentukan oleh diri sendiri. Pemahaman ini mampu menghindarkan seseorang dari melakukan perbuatan yang mengakibatkan kelahiran kembali di enam alam.

“Dengan memahami hukum sebab akibat kita akan paham kenapa dalam hidup kita saat ini dalam kondisi seperti ini. Jadi kehidupan kita saat ini ditentukan oleh kehidupan kita sebelumnya. Contohnya saja anjing, ada anjing yang menjadi kesayangan majikannya tetapi ada anjing yang dilihat pun tidak menyenangkan bahkan suka dipukuli oleh orang, bahkan ada anjing yang dipotong untuk dimakan. Mengapa demikian?” lanjut Dharmacaya.

Menurut Dharmacaya, kondisi kehidupan seseorang saat ini ditentukan perbuatannya sendiri di masa lampau. Dengan kata lain, kehidupan seseorang atau makhluk, murni tanggung jawabnya pribadi masing-masing, bukan ditentukan oleh siapapun di luar diri. “Jadi kita harus paham bahwa kita harus bertanggungjawab atas semua tindakan kita.”

“Contoh nyata hukum sebab akibat, bagi yang kecanduan main game pasti akan banyak waktu yang tersita untuk belajar, dan pasti prestasi di sekolah juga akan menurun. Dan kita paham bahwa nasib kita ditentukan oleh perilaku kita. Tetapi apakah anda tahu bahwa perilaku kita ditentukan oleh emosi kita?”

Dharmacarya Shi Lianzhu mengisi talkshow 2

Emosi Mempengaruhi Perilaku

Lebih jauh, Dharmacarya menekankan pentingnya memahami bahwa perasaan atau emosi bisa mempengaruhi perbuatan seseorang. Maka dari itu, Dharmacarya memberikan tips bagaimana cara menangani emosi atau perasaan yang muncul. Dengan harapan tips ini bisa diterapkan untuk mengendalikan perbuatan atau perilaku akibat dorongan emosi.

Hal pertama yang harus dilakukan ketika emosi atau perasaan apa pun muncul, menurut Dharmacarya, adalah dengan mengenalinya secepat mungkin. Setelah pikiran mengenali emosi tersebut, kemudian dilepaskan.  Dengan tegas Dharmacarya menyatakan bahwa jangan pernah melakukan tindakan apapun atau mengambil keputusan apa pun pada saat sedang kesal, amarah, dan sedang dalam pengaruh emosi lainnya. Karena setiap emosi dan perasaan bisa mempengaruhi perilaku dan menimbulkan buah karma. Dan jika hal ini tidak dilatih, maka akan menjadi kebiasaan buruk.

“Misalnya, dalam kehidupan ini anda suka memarahi atau memukul orang dan di kehidupan mendatang anda bisa memetik buah karma memiliki bau mulut. Dan yang suka memukul di kehidupan mendatang bisa memiliki penyakit di tangan atau kaki,” Dharmacarya memberikan contoh.

Bagaimana timbulnya emosi atau perasaan itu?

Kondisi A + Kondisi B = Kondisi C

Menerangkan rumus timbulnya perasaan, Dharmacarya memberikan dua buah contoh yang saling berlawanan. Pertama, ketika kita didatangi orang lain dengan senyuman. Karena ada pemahaman bahwa orang yang tersenyum itu adalah orang yang baik, maka pada saat kita bertemu dengan orang tersebut timbul suka cita dalam diri kita. Kondisi pertama ditambah kondisi kedua menimbulkan kondisi ketiga, yaitu timbulnya perasaan suka cita dan kita merasa sangat senang, lalu responnya adalah tersenyum dan akan membalas sapaannya.

“Sebaliknya, jika anda melihat orang cemberut yang mendatangi anda dan anggapan anda bahwa orang yang tidak tersenyum adalah orang yang tidak ramah, tidak baik. Maka dalam hati akan timbul perasaan tidak suka. Kondisi pertama ditambah kondisi kedua menimbulkan kondisi ketiga, maka timbul perasaan tidak suka atau tidak senang dan akhirnya timbul respon dengan melototinya dan acuh, tidak mau menyapanya.”

Contoh lain yang disampaikan Dharmacarya, misalnya ada temen yang mengambil handphone milik kita, setidaknya kita pasti berpikir bahwa yang teman kita akan mengintip rahasia kita ysng tersimpan di handphone. Kondisi yang timbul adalah perasaan jengkel, bahkan kita bisa merebutnya, memukul atau menghantamnya. Meskipun kita di posisi benar, tetapi perbuatan kita juga akan menimbulkan buah karma buruk.

“Tetapi karena kita telah memiliki pengetahuan tentang hukum sebab akibat, maka respon kita akan berbeda dengan orang awam. Kita bisa mengontrol perasaan dan tindakan kita, sehingga tidak menimbulkan benih karma yang tidak baik, yang akhirnya akan bisa menentukan nasib kita di masa mendatang.”

Lebih dalam Dharmacarya menjelaskan, dengan memahami hukum sebab akibat dan bagaimana mengenali perasaan, seseorang akan bisa mengendalikan perasaan atau emosi, dengan emosi yang terkendali seseorang juga bisa mengendalikan tindakan. Dengan mengendalikan tindakan, maka akan tercipta benih karma baik dan akhirnya akan memiliki nasib yang baik pula.

Tunjukkan Kualitas Terbaik sebagai Siswa Buddha

Sebagai seorang siswa Buddha, umat Buddha Indonesia hendaknya bisa menunjukkan kualitas yang unggul di tengah mayoritas agama lain. Untuk itu, Dharmacarya memberikan cara untuk memiliki kualitas tersebut.

Mengulas ajaran Dharmaraja Liansheng, Dharmacarya mendorong para peserta Jambore IMZI untuk memiliki kemampuan yang melampaui orang awam dalam dua hal yaitu Maitri/Metta dan Karuna.  Metta berarti kita selalu mengharapkan kebahagiaan bagi orang lain, dan Karuna berarti selalu berharap bisa membantu orang lain bebas dari penderitaan.

“Ini merupakan modal kita sebagai siswa Buddha. Dharmaraja Lian Sheng mengajarkan kita, hal yang menguntungkan orang lain wajib kita lakukan, hal yang merugikan orang lain jangan dilakukan. Dengan kita melakukan dua prinsip ini maka batin kita akan menjadi luas, menjadi lapang,” lanjut Dharmacarya.

Batin yang memiliki Metta dan Karuna menjadi modal seseorang dalam melakukan bhavana/samadhi. Dengan batin penuh Metta dan Karuna, akan timbul sikap atau kemampuan yang melampaui orang awam di dalam masyarakat mayoritas agama lainnya.

Memperjelas ajaran Metta dan Karuna, Dharmacarya membagikan pengalaman pribadinya sebelum menjadi seorang bhiksu. Sebelumnya, Dharmacarya mengaku sangat takut dengan hantu dan makhluk halus sejenisnya.

“Bagaimana saya mengatasi rasa takut ini? Yaitu dengan Metta dan Karuna, karena para hantu ini membutuhkan kita untuk menolong mereka. Jika kita harus membantu mereka tetapi kita takut hantu, bagaimana kita bisa membantunya,” Dharmacarya bercerita.

Sebelum menjadi bhiksu dan mengembangkan Metta-Karuna, Dharmacarya bahkan ketakutan untuk tinggal di rumah sendirian, terlebih untuk bepergian, kemanapun harus ditemani. Tetapi, saat ini setelah mengembangkan Metta-Karuna, semua rasa takut itu pun lenyap, pergi ke manapun berani sendirian. Kekuatan Metta-Karuna, selain mampu menhilangkan ketakutan, Dharmacarya menilai juga bisa untuk mengatasi semua masalah kehidupan dan bisa menimbulkan respon yang berbeda dari orang awam.

“Jadi, dengan Maitri dan Karuna anda bisa mengikis semua perasaan atau emosi negatif, sehingga bisa mencegah anda dari melakukan tindakan yang merugikan orang lain maka anda tidak akan mendapatkan buah karma yang tidak baik,” pungkas Dharmacarya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *